Jakarta, 1 August 2025 — Di tengah perubahan dunia pendidikan yang makin cepat, banyak mahasiswa mulai mempertanyakan ulang efektivitas sistem pembelajaran yang selama ini di gunakan. Salah satu yang paling sering di bicarakan adalah sistem SKS dalam kuliah. Apakah sistem ini masih relevan di tahun 2025? Apakah fleksibilitas yang di tawarkan SKS benar-benar memberikan dampak positif, atau justru menjadi beban tersendiri bagi mahasiswa dan dosen?
Sistem Kredit Semester (SKS) sudah lama di terapkan di perguruan tinggi Indonesia sebagai acuan dalam menentukan beban belajar mahasiswa. Namun, perubahan cara belajar, kemajuan teknologi, dan kebutuhan dunia kerja yang dinamis membuat kita perlu meninjau kembali apakah SKS masih menjadi sistem terbaik untuk masa depan pendidikan tinggi.
Apa Itu Sistem SKS dan Bagaimana Cara Kerjanya?

Sistem SKS atau Sistem Kredit Semester adalah sistem pengukuran beban studi mahasiswa berdasarkan jumlah jam perkuliahan dan tugas-tugas akademik yang harus di selesaikan dalam satu semester. Satu SKS umumnya setara dengan 50 menit kegiatan tatap muka di kelas, 60 menit tugas terstruktur, dan 60 menit kegiatan mandiri.
Dengan sistem ini, mahasiswa diberi kebebasan memilih jumlah mata kuliah sesuai kemampuan dan strategi akademik mereka. Namun, kebebasan ini sering kali justru membingungkan, terutama bagi mahasiswa baru yang belum memahami ritme kuliah dengan baik.
Apakah Sistem SKS Masih Relevan di Tahun 2025?

Jawabannya tidak bisa hitam – putih. Di satu sisi, sistem SKS dalam kuliah masih memberikan keleluasaan bagi mahasiswa untuk merancang jalur belajarnya sendiri. Ini sangat sesuai dengan semangat personalisasi pendidikan. Namun di sisi lain, fleksibilitas ini juga menjadi tantangan besar. Misalnya, beban akademik yang tidak merata, ketimpangan kualitas antar mata kuliah, hingga kurangnya pemahaman mahasiswa dalam merancang kurikulum pribadi.
Tahun 2025 menuntut pendekatan pembelajaran yang lebih adaptif, berbasis proyek, dan berorientasi pada skill praktis. SKS dalam bentuknya sekarang masih terlalu terikat pada jumlah jam dan aktivitas formal, bukan hasil belajar yang nyata. Jika tidak di perbarui, sistem ini bisa tertinggal jauh dari kebutuhan zaman.
Alternatif dan Inovasi Sistem Pembelajaran yang Lebih Efektif
Beberapa universitas mulai menerapkan pendekatan baru, seperti model pembelajaran berbasis kompetensi (Competency-Based Learning), microcredentials, atau sistem modul fleksibel. Sistem ini lebih fokus pada hasil belajar, bukan hanya proses. Mahasiswa di nilai berdasarkan penguasaan keterampilan, bukan waktu yang di habiskan di kelas.
Inovasi seperti ini membuka peluang besar untuk menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan dunia kerja dan perkembangan teknologi. Tapi tentu saja, peruabahan besar seperti ini butuh waktu, kesiapan infrastruktur, dan adaptasi dari semua pihak—mahasiswa, dosen, dan institusi pendidikan.
Yuk, Jadi Bagian dari Perubahan Pendidikan!
Kita semua, baik sebagai mahasiswa, dosen, maupun masyarakat umum, punya peran dalam menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik. Sudah saatnya kita terbuka terhadap model-model pembelajaran baru yang lebih adaptif, berbasis keterampilan, dan berdampak nyata bagi masa depan.
Kalau kamu masih kuliah, coba tanyakan pada dirimu sendiri—apakah sistem yang kamu jalani sekarang benar-benar membantumu berkembang? Jika belum, mungkin inilah saatnya ikut mendorong perubahan.
Leave a Reply