Jakarta, 2 Desember 2025 — Dalam proses penyelesaian sengketa perdata, surat gugatan menjadi dokumen paling penting yang menentukan arah perkara. Dua elemen utama yang wajib ada dalam surat gugatan adalah posita dan petitum. Meski terlihat sederhana, banyak gugatan kandas sejak awal hanya karena penyusunan posita dan petitum yang tidak tepat.
Artikel berkasinaja akan menjadi panduan lengkap bagi Anda untuk memahami cara menulis keduanya dengan benar, natural, dan sesuai praktik hukum yang berlaku.
Apa Itu Posita dan Mengapa Sangat Penting?
Posita—sering disebut fundamentum petendi—adalah bagian gugatan yang berisi uraian fakta, kronologi, dan dasar hukum yang menjadi landasan tuntutan. Di sinilah penggugat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana sengketa muncul, serta aturan hukum mana yang mendukung posisinya.
Posita harus ditulis jelas, logis, dan kronologis, sebab bagian ini akan diuji oleh majelis hakim. Posita yang kabur atau tidak lengkap sering kali membuat gugatan dinyatakan obscuur libel (kabur) dan langsung tidak dapat diterima.
Jenis-Jenis Posita yang Perlu Diketahui
Untuk membuat fondasi surat gugatan yang kuat, posita perlu memuat tiga unsur berikut:
1. Posita Peristiwa
Yakni rangkaian kejadian faktual yang dialami penggugat secara berurutan. Misalnya, kapan hubungan hukum terjadi, kapan terjadi pelanggaran, hingga kerugian yang timbul.
2. Posita Hukum
Merupakan dasar normatif yang mendukung gugatan, seperti pasal-pasal dalam KUHPerdata, UU Perlindungan Konsumen, atau putusan MA yang relevan. Bagian ini menunjukkan bahwa tuntutan bukan sekadar klaim, tetapi memiliki dasar normatif yang sah.
3. Posita Hubungan Kausal
Menjelaskan hubungan antara peristiwa dan hukum, atau menjawab pertanyaan: “Mengapa peristiwa tersebut menyebabkan kerugian, dan mengapa tergugat bertanggung jawab?”
Ketiga jenis posita di atas menjadi bahan penting sebelum Anda menyusun petitum.
Mengenal Petitum: Inti Tuntutan dalam Gugatan
Jika posita adalah dasar pijakan, maka petitum adalah “hasil” atau apa yang diminta penggugat kepada hakim. Petitum wajib memuat tuntutan secara jelas, tegas, dan tidak multitafsir.
Petitum biasanya dibagi menjadi dua jenis:
1. Petitum Primer
Adalah permintaan utama yang ingin dikabulkan. Misalnya, menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, memerintahkan tergugat membayar ganti rugi, atau menyatakan perjanjian batal demi hukum.
2. Petitum Subsider
Permintaan cadangan apabila petitum primer tidak dikabulkan hakim. Misalnya, meminta putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Penulisan petitum yang kabur atau tidak sinkron dengan posita dapat membuat gugatan cacat formil.
Keterkaitan Posita dan Petitum dalam Sebuah Gugatan
Hubungan posita dan petitum harus selaras dan konsisten. Posita adalah narasi dan dasar hukum yang disusun untuk “mengantar” petitum. Sementara petitum adalah inti yang ingin diwujudkan melalui proses hukum.
Kesalahan yang sering muncul adalah petitum yang tidak memiliki dasar di dalam posita atau sebaliknya. Untuk menghindarinya, pastikan setiap poin petitum memiliki pijakan kuat dalam posita. Saat memberikan contoh posita dan petitum, para praktisi hukum menekankan bahwa sinkronisasi adalah kunci agar gugatan tidak dibatalkan.
Cara Menulis Posita yang Benar
Berikut teknik menulis posita secara profesional:
1. Susun Fakta Secara Kronologis
Mulai dari awal hubungan hukum hingga timbulnya sengketa. Jangan mencampur fakta dengan opini.
2. Gunakan Bahasa Hukum yang Tegas
Hindari kalimat berputar-putar. Posita adalah uraian yang menunjukkan posisi hukum penggugat.
3. Sertakan Bukti Pendukung
Cantumkan dokumen atau alat bukti yang akan diajukan pada persidangan, seperti perjanjian, kuitansi, atau korespondensi.
4. Masukkan Dasar Hukum
Sisipkan pasal yang relevan untuk menguatkan argumentasi.
Cara Menyusun Petitum dengan Tepat
Penulisan petitum harus memenuhi standar berikut:
1. Rumuskan Tuntutan Secara Jelas
Misalnya: “Menghukum tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp100.000.000.”
2. Hindari Permintaan Multitafsir
Kalimat seperti “seperlunya” atau “secukupnya” tidak disarankan kecuali digunakan dalam petitum subsider.
3. Petitum Harus Terperinci
Jika meminta ganti rugi, rincikan jenis dan jumlahnya. Jika meminta pembatalan kontrak, cantumkan tanggal dan nomor kontrak.
4. Pisahkan Petitum Primer dan Subsider
Agar hakim dapat menilai gugatan secara berlapis.
Contoh Struktur Penulisan Posita dan Petitum
Berikut gambaran umum struktur yang biasa digunakan:
A. Posita
- Identitas para pihak
- Fakta hukum kronologis
- Perbuatan melawan hukum / wanprestasi
- Kerugian yang timbul
- Dasar hukum yang relevan
B. Petitum
- Menerima gugatan penggugat
- Menyatakan tergugat bersalah/wanprestasi
- Menghukum tergugat membayar ganti rugi
- Mengabulkan hal-hal tambahan seperti sita jaminan
- Petitum subsider: memutus perkara ex aequo et bono
Struktur ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kasus.
Kesimpulan
Menulis posita dan petitum membutuhkan ketelitian, struktur berpikir yang rapi, serta pemahaman terhadap hukum acara. Posita menjadi dasar pijakan gugatan, sementara petitum adalah hasil yang diminta penggugat melalui persidangan. Keduanya tidak boleh bertentangan dan harus saling menguatkan.
Dengan memahami teknik penulisan, struktur, dan praktik terbaiknya, penyusunan surat gugatan dapat dilakukan secara lebih profesional dan efektif.
Ayo bergabung di situs slot 2025 terbaik terpercaya dan daftar sekarang juga di → Konohatoto78

Leave a Reply